BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja
Remaja adalah tahap umur yang datang setelah
masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Bisa juga
didefinisikan masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak
menuju dewasa dan perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa
dewasa. Masa remaja adalah masa bergejolaknya bermacam-macam
perasaan yang kadang-kadang satu sama lain bertentangan sehingga remaja menjadi
terombang-ambing antara berbagai gejolak emosi yang saling bertentangan.
Pengertian remaja menurut pendidikan adalah
periode peralihan dari masa siswa ke masa dewasa. Sedangkan pengertian
remaja menurut psikolog adalah masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari
kanak-kanak menuju dewasa.
Adapula yang mendefinisikan bahwa remaja yaitu
tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh
pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja, luar
dan dalam itu, membawa pengaruh terhadap remaja dalam sikap, prilaku, kesehatan
serta kepribadian remaja.
B. Perkembangan Agama Pada
Masa Remaja I
Setelah si anak melalui umur 12 tahun,
berpindah ia dari masa kanak-kanak yang terkenal tenang, tidak banyak debat dan
soal. Mereka memasuki masa goncang, karena pertumbuhan cepat di segala
bidang terjadi. Kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan karena ia kecewa pada
dirinya sendiri. Maka kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang-kadang sangat
kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang yang terlihat pada
cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin kadang juga malas. Perasaannya terhadap
Tuhan tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya. Terkadang
ia sangat membutuhkan Tuhan ketika ia menghadapi bahaya, takut akan gagal atau
merasa berdosa. Tapi terkadang pula ia merasa tidak membutuhkan Tuhan karena ia
merasa sedang senang, riang dan gembira.
Hendaknya guru agama memahami keadaan anak yang
sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat
cepat. Guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka
sehingga kegoncangan perasaan yang dapat diatasi.
Ciri-ciri khas masa remaja awal ( 13- 17
tahun ), yaitu :
1. Status masa remaja dalam
periode ini tidak tertentu.
Dalam periode ini status anak remaja dalam
masyarakat boleh dikatakan tidak dapat ditentukan dan membingungkan. Pada suatu
waktu ia diperlakukan seperti anak-anak, akan tetapi bilamana dia berkelakuan
seperti anak-anak, dia mendapat teguran supaya bertindak sesuai dengan umurnya
jangan seperti anak-anak.
2. Dalam masa ini anak remaja
emosional
Emosi-emosi yang dialami anak-anak remaja
antara lain adalah marah, takut cemas, rasa ingin tahu, iri hati, sedih, kasih
sayang dan sebagainya.
3. Anak remaja dalam
masa ini tidak stabil keadaannya
Dalam masa ini remaja sangat tidak stabil
keadaannya. Kesedihan tiba-tiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri
sendiri berganti dengan rasa meragukan diri sendiri. Kestabilannya ini juga
nampak dalam hubungannya dengan masyarakat. Persahabatannya berganti-ganti
terutama dengan teman dari lawan jenis sehingga dia belum dapat menentukan
rencana untuk masa depan.
4. Anak-anak remaja mempunyai
banyak masalah
Bagi anak remaja ia merasa memiliki banyak
masalah karena dahulu di Masa Kanak-kanak dia selalu dibantu oleh orang tua dan
guru dalam menyelesaikan persoalannya. Beberapa macam masalah yang dihadapi
anak remaja ialah :
a. Masalah berhubungan dengan
keadaan jasmaninya
b. Masalah berhubungan dengan
kebebasannya
c. Masalah berhubungan dengan
nilai-nilai
d. Masalah berhubungan dengan
peranan wanita dan pria
e. Masalah berhubungan dengan
hubungan anggota dari lawan jenis
f. Masalah behubungan dengan
hubungan dalam masyarakat
g. Masalah berhubungan dengan jabatan
h. Masalah berhubungan dengan kemampuan
C. Perkembangan Agama Pada
Masa Remaja II
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak
pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan.
Istilah agama dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal. Mereka
mengharap atau menginginkan perhatian dan tanggapan orang lain, baik dari orang
tua, guru maupun masyarakat ramai agar mereka dihargai dan diperlakukan seperti
orang dewasa.
Remaja sedang berusaha untuk mencapai
peningkatan dan kesempurnaan kepribadiannya maka mereka juga ingin
mengembangkan agama. Caranya menerima dan menanggapi pendidikan agama jauh
berbeda dari masa-masa sebelumnya. Mereka ingin agar agama menyelesaikan
kegoncangan dan kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut
agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan
secara ilmiah dan rasional. Ada hal-hal yang menggelisahkan remaja yaitu
tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama dengan
kelakuan orang dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai guru agama hendaknya
dapat memahami betul-betul perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh
remaja dan memilih metode yang cocok dalam pelaksanaan pendidikan agama.
Ciri-ciri khas dalam masa remaja akhir (17 -21
tahun ), yaitu :
1. Kestabilan bertambah
2. Lebih matang dalam cara
menghadapi masalah
3. Ikut campur tangan dari orang dewasa
berkurang
4. Ketenangan emosional
bertambah
5. Pikiran realistis
bertambah
6. Lebih banyak perhatian
terhadap lambang-lambang kematangan
Perkembangan emosi dalam masa remaja akhir
1. Marah
2. Takut dan cemas
3. Iri hati
4. Rasa menginginkan dengan
sangat pada benda-benda milik anak atau orang lain
5. Rasa senang
6. Rasa sedih
7. Kasih saying
D. Sikap Remaja Terhadap
Agama
Perasaan remaja dalam beragama memang dapat
dipengaruhi oleh perasaan beagama yang didapat dari masa sebelumnya dan
lingkungan dimana ia tinggal. Bagi remaja yang tidak beruntung mempunyai orang
tua bijaksana yang mampu memberikan bimbingan agama pada waktu kecil, maka usia
remaja akan dilaluinya dengan berat dan sulit.
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan
sifat-sifatnya merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan
lingkungannya serta dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu
sendiri. Perasaan beragama pada remaja khususnya terhadap Tuhan tidaklah tetap.
Kadang-kadang sangat cinta dan percaya kepada-Nya, tetapi sering pula berubah
menjadi acuh tak acuh bahkan menentang.
1. Percaya Turut-turutan
Kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan
menjalankan ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungannya yang
beragama, karena ibu bapaknya orang beragama, teman-temannya dan masyarakat
sekelilingnya rajin ibadah. Maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah
serta ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan di mana ia
hidup.
Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi,
apabila orang tuanya memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan
jauh dari pengalaman-pengalaman pahit di waktu kecil sehinga cara kekanak-kanakan
dalam Bergama it uterus berjalan.
Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama
dan banyak terjadi hanya pada masa-masa remaja pertama ( umur 13 tahun ).
Sesudah itu bisanya berkembang kepada cara ynang lebih kritis dan lebih sadar.
2. Percaya Dengan Kesadaran
Setelah kegoncangan remaja pertama ini agak
reda, yaitu umur 16 tahun di mana pertumbuhan jasmani hamper selesai dan
kecerdasan juga sudah dapat berpikir lebih matang dan pengetahuan telah
bertambah pula. Semuanya itu mendorong remaja kepada lebih tenggelam lagi dalam
memikirkan dirinya sendiri. Perhatian kepada ilmu apengetahuan dan agama serta
soal-soal social masyarakat bertambah besar dan semakin membangun.
Kesadaran agama atau semangat agama pada maa
remaja itu mulai dengan kecenderungannya remaja kepada meninjau dan meneliti
kembali caranya beragama di masa kecil dulu.
3. Kebimbangan Beragama
Kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah
diterimanya tanpa kritikawaktu kecilnya merupakan pertanda bahwa kesadaran
beragama telah terasa oleh remaja. Kebimbangan remaja terhadap agama itu
tidaklah sama berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sesuai dengan
kepribadiannya.
Rasa keragu-raguan kepada Tuhan pun dapat
berakhir dengan keingkaran, apabila ia merasa bahwa Tuhan tidak melindungi atau
tidak menolong bangsa atau golongannya namun tidak semua remaja yang bimbang
akan berakhir dengan keingkaran.
4. Tidak Percaya Kepada Tuhan
Salah satu perkembangan yang mungkin terjadi
pada akhir masa remaja adalah mengingkari wujud Tuhan dan menggantikannya
dengan kepercayaan lain. Mungkin sekali remaja itu merasa tidak percaya kepada
Tuhan, mengaku bahwa dirinya ateis. Mungkin karena terlalu kecewa atau
menderita bathin atau juga merasa sakit hati yang telah bertumpuk-tumpuk,
sehingga ia putus asa terhadap keadilan dan kekuasaan Tuhan.
Biasanya para remaja itu apabila telah
mengetahui sedikit tentang bermacam-macam ilmu pengetahuan, disangkanya bahwa
ia telah hebat dan mendalami ilmu tersebut. Berbeda halnya dengan remaja yang
beriman, mereka akan cemas melihat pengetahuan akan merongrong keyakinannya.
Karena itulah maka semangat beragamanya semakin menyala dan berusaha mebela
agama dari segala keumngkinan serang-serangan yang ditunjukkan kepada agama.
E. Perkembangan Rasa Agama
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani
para remaja, maka agama para remaja ini menyangkut adanya perkembangan, yang
mana penghayatan para remaja terhadapa ajaran agama dan tindak keagamaan yang
tampak pada para remaja benyak berkaitan dengan perkembangan itu. Perkembangan
agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan
rohani, yaitu :
1. Pertumbuhan Pikiran dan
Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima
remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat
kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Agama yang ajarannya bersifat lebih
konsrvatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada
ajaran agamanya.
2. Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa
remaja. Perasaan Sosial, ethis dan setetis mendorong remaja untuk menghayati
prikehidupan yang terbiasa dalam lingkungan kehidupan agamis akan cenderung
mendorong dirinya untuk lebih dekat ke arah hidup agamis.
3. Pertimbangan Sosial
Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik
antara pertimbangan moral dan material, remaja sangat bingung menentukan
pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan materi maka
pandangan remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
4. Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa
berdosa dan usaha mencari proteksi.
5. Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh
dikatakan sangat kecil dan hal itu tergantung dari kebiasaan masa kecil serta
lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Lum selesai
F. Pendidikan Agama Pada Remaja
Pada hakikatnya masa remaja yang utama ialah masa
menemukan diri, meneliti sikap hidup yang lama dan mencoba-coba yang baru untuk
jadi pribadi yang dewasa. Para ahli psikologi dan pendidikan belum
sepakat mengenai rentang usia remaja, namun beberapa ahli mengatakan bahwa usia
remaja berkisar antara usia 13-19 tahun.
Dalam bidang agama, para ahli psikologi agama menganggap
bahwa kemantapan beragama biasanya tidak terjadi sebelum usia 24 tahun,
rentangan remaja mungkin diperpanjang hingga 24 tahun.
Para ahli telah setuju bahwa masa remaja adalah masa
transisi antara masa kanak-kanak yang akan ditinggalkannya menjelang masa
dewasa yang penuh tanggung jawab. Dalam peta psiokologi remaja terdapat
tiga bagian, yaitu :
a. Fase Pueral
Pada masa ini remaja tidak mau dikatakan anak-anak,
tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa
b. Fase Negatif
Fase ini hanya berlangsung beberapa bulan saja yang
ditandai oleh sikap ragu-ragu, murung, suka melamun dan sebagainya
c. Fase Pubertas
Secara umum, masa remaja merupakan masa pancaroba yang
penuh dengan kegelisahan dan kebingungan. Hal ini lebih disebabkan oleh
perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat berlangsungnya, terutama dalam
hal fisik, perubahan dalam pergaulan sosial, perkembangan intelektual, adanya
perhatian dan dorongan pada lawan jenis.
Mengenai problema yang disebut
terakhir, agama pada dasarnya remaja telah membawa potensi beragama sejak
dilahirkan dan itu merupakan fitrahnya. Yang menjadi masalah saat ini ialah
bagaimana remaja mengembangkan potensi tersebut???
Ide-ide agama, dasar-dasar dan
pokok-pokok agama pada umumnya diterima seseorang pada masa kecilnya. Apa yang
diterima sejak kecilnya, akan berkembang dan tumbuh subur, apabila anak remaja
dalam menganut kepercayaan tersebut tidak mendapat kritikan. Dan apa yang
tumbuh dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang dipeganginya melalui
pengalaman-pengalaman yang dirasakannya.
Mengenai perkembangan kognitif pada usia remaja sangat
memberi kemungkinan terjadi perpindahan atau transisi dari agama lahiriah
menuju agama yang bathiniah. Dengan demikian, perkembangan kognitif memberi
kemungkinan remaja untuk meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari
lingkungannya dan mulai memikirkan konsep serta bergerak menuju iman yang
sifatnya sungguh-sungguh personal.
NO 2
-
- Prilaku normatif (nilai-nilai agama)
- Memiliki pekerjaan untuk penghidupan.
- Berpartisipasi aktif dalam bermasyarakat.
B. Periode Perkembangan Masa Dewasa.
Masa dewasa dibagi menjadi
3 periode (Hurlock, 1968), yaitu:
1. Masa Dewasa Awal (Early Adulthood =
18/20 tahun – 40 tahun).
- Secara
biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia
tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in
population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola
hidup sehat).
- Secara
psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan akibat
banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum maupun
setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap menikah,
masalah anak, keharmonisan keluarga, dll.
- Tugas-tugas
perkembangan (development task) pada usia ini meliputi : pengamalan
ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki
pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola
rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat,
mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
2. Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age =
40 – 60 tahun).
- Aspek
fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan
mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami
(rematik, asam urat, dll).
- Tugas-tugas
perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran agama, mencapai
tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak remaja belajar
dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada aspek fisik,
mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan peran-perannya
sebagai orang dewasa.
3.
Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60 – Mati).
- Ditandai
dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran,
penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial).
- Tugas-tugas
perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan
ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan
fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian
pasangan hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan
hubungan dengan anggota keluarga.
- Faktor-faktor
penyebab kegagalan melaksanakan tugas perkembangan, yaitu :
1.
tidak adanya bimbingan untuk memahami dan
menguasai tugas,
2.
tidak ada motivasi menuju kedewasaan.
3.
kesehatan yang buruk,
4.
cacat tubuh,
5.
tingkat kecerdasan rendah.
- Prilaku
menyimpang (maladjustment) akibat tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan (terutama aspek agama) adalah : berzina, konsumsi
miras dan naza, menelantarkan keluarga, sering ke hiburan malam, biang
keladi kerusuhan (preman / provokator), melecehkan norma dalam masyarakat.
Dari uraian diatas, salah satu tugas
perkembangan masa dewasa adalah pemantapan kesadaran beragama. Terdapat asumsi
bahwa semakin bertambah usia seseorang maka semakin mantap kesadaran
beragamanya. Namun kenyataannya, tidak sedikit orang dewasa dengan perilaku
yang bertentangan dengan nilai agama. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perjalanan kehidupan beragama seseorang adalah karena keragaman-keragaman
:
- pendidikan
agama semasa kecil (menerima, tidak menerima),
- pengalaman menerapkan nilai-nilai agama (intensif, jarang, tidak
pernah),
- corak
pergaulan dengan teman kerja (taat beragama, melecehkan),
- sikap
terhadap permasalahan hidup yang dihadapi (sabar, frustasi, depresi)
- orientasi
hidup (materialistis-hedonis, moralis-agamis).
C. Karakteristik Perkembangan Mahasiswa.
1.
Usia Mahasiswa sebagai Fase Usia Dewasa awal.
- Kenniston (Santrock
dalam Chusaini, 1995: 73).
Masa dewasa
awal adalah masa muda yang merupakan periode transisi antara masa dewasa dan
masa remaja yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi
sementara, hal ini ditunjukkan oleh kemandirian ekonomi dan kemandirian membuat
keputusan.
Fase dewasa awal adalah suatu fase dalam siklus
kehidupan yang berbeda dengan fase-fase sebelum dan sesudahnya, karena
merupakan fase usia untuk membuat suatu komitmen pada diri individu.
Fase usia dewasa awal merupakan kebutuhan untuk
membuat komitmen dengan menciptakan suatu hubungan interpersonal yang erat dan
stabil serta mampu mengaktualisasikan diri seutuhnya untuk mempertahankan
hubungan tersebut.
- Ciri-ciri
umum perkembangan fase usia dewasa awal (Hurlock, 1991: 247-252) :
- Masa pengaturan (mulai
menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa),
- Usia reproduktif (masa
produktif memiliki keturunan),
- Masa bermasalah (muncul
masalah-masalah baru seperti pernikahan),
- Masa ketegangan emosional (pada
wilayah baru dgn permasalahan baru),
- Masa keterasingan sosial (memasuki
dunia kerja dan kehidupan keluarga),
- Masa komitmen (menentukan pola hidup dan
tanggung jawab baru),
- Masa ketergantungan (masih
tergantung pada pihak lain),
- Masa perubahan nilai (orang
dewasa awal ingin diterima oleh anggota kelompok orang dewasa),
- Masa penyesuaian diri dengan cara hidup
baru,
- Masa kreatif (masa dewasa awal adalah
puncak kreatifitas).
- Fase dewasa awal jika dikaitkan dengan
usia mahasiswa pada fase ini menunjukkan bahwa peran, tugas dan tanggung
jawab mahasiswa bukan hanya pencapaian keberhasilan akademik, melainkan
mampu menunjukkan perilaku dan pribadi untuk mengeksplorasi berbagai gaya
hidup dan nilai-nilai secara cerdas dan mandiri, yang menunjukkan
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial yang
baru sebagai orang dewasa.
2. Aspek-aspek Perkembangan Dewasa
Awal.
Aspek-aspek perkembangan yang dihadapi usia
mahasiswa sebagai fase usia dewasa awal (Santrock, 1995 : 91-100) adalah:
- Perkembangan
fisik. Pada fase dewasa awal adalah puncak perkembangan fisik dan
juga penurunan perkembangan individu secara fisik.
- Perkembangan
seksualitas. Terjadi sikap dan prilaku seksual secara
heteroseksual dan homoseksual.
- Perkembangan
kogitif. Menggambarkan efisiensi dalam memperoleh informasi yang baru,
berubah dari mencari pengetahuan menuju menerapkan pengetahuan itu
(Schaise, 1997).
- Perkembangan
karir. Suatu individu ketika memulai dunia kerja yang baru harus
menyesuaikan diri dengan peran yang baru dan memenuhi tuntutan karir
(Heise, 1991 ; Smither, 1998).
- Perkembangan
sosio-emosional. Menggambarkan hubungan sosial individu
dengan lingkungannya yang terdiri dari 3 fase yaitu fase pertama (menjadi
dewasa dan hidup mandiri), fase kedua (pasangan baru yang membentuk
keluarga baru (Goldrick, 1989)), dan fase ketiga (menjadi keluarga sebagai
orang tua dan memiliki anak).
3. Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal.
Menurut Havigurst (1961:259-265),
tugas-tugas perkembangan dewasa awal adalah:
a. Memilih Pasangan Hidup.
- Calon
pasangan mempersiapkan diri untuk memilih dan menemukan yang cocok,
selaras dengan kepribadian masing-masing dan juga menyesuaikan dengan
kondisi dan latar belakang kehidupan kedua calon keluarga masing-masing.
- Keputusan
memilih sampai menentukan pasangan hidup adalah tanggung jawab baik pihak
laki-laki maupun perempuan dengan pertimbangan dari pihak orang tua,
keluarga dan bantuan pihak-pihak lain yang dipandang mampu.
- Menurut Norman
(1992) :
- Pemenuhan kebutuhan merupakan faktor utama
dalam memilih pasangan pernikahan, karena kebutuhan dan sifat individu dapat
berlainan satu sama lain, beberapa orang akan lebih memilih pasangan yang
melengkapi dirinya.
- Pernikahan yang dilandasi kebutuhan saling
melengkapi terjadi akibat daya tarik lawan jenis (opposites attract).
Akibatnya ada individu dengan peran/figur dominan (memberikan simpati, cinta
dan perlindungan) terhadap pasangannya yang bersifat patuh atau submissive
(memperoleh simpati, cinta dan perlindungan). Peran dominan lazimnya oleh suami
dan peran isti bersifat submissive, apabila yang terjadi kebalikannya maka akan
terjadi konflik sosial.
- Dalam suatu pasangan, sifat saling melengkapi
tidak menuntut adanya kompromi antarindividu sebaliknya individu yang
karakternya bertentangan dengan pasangannya harus mengadakan kompromi dengan
pasangannya.
- Kebudayaan sangat berpengaruh dalam penentuan
pasangan hidup, dimana definisi kebudayaan melahirkan istilah kriteria ideal
dan standar ideal seleksi calon pasangan. Pertama menetapkan kriteria ideal
bagi calon pasangan, jika tidak terpenuhi maka ditetapkan standar ideal pada
individu yang dicintai.
b. Belajar Hidup Dengan Pasangan Nikah.
Pada dasarnya adalah proses menyesuaikan dua
kehidupan individu secara bersama-sama dengan cara belajar menyatakan dan
mengontrol perasaan masing-masing pasangan seperti kemarahan, kebencian,
kebahagiaan, kasih sayang, kebutuhan biologis, sehingga seseorang hidup dengan
hangat dan harmonis. Perbedaan latar belakang orang tua dan keluarga harus diperhatikan
dalam proses penyesuaian dan pembelajaran lebih lanjut dalam menempuh
keluarga bahagian dan sejahtera.
c. Memulai Hidup Berkeluarga.
- Pasangan
baru yang memulai kehidupan berkeluarga akan memperoleh banyak pengalaman
baru yang penting bagi pasangan dan kehidupan keluarga, seperti hubungan
seksual pertama, hamil pertama, punya anak pertama, konflik pertama dan
interaksi sosial dengan keluarga pasangan.
- Dalam
tugas perkembangan ini, Havigurst menguraikannya dari berbagai sudut
pandang sebagai berikut:
1. Sifat tugas.
Memiliki anak pertama dengan sukses merupakan
manifestasi keberhasilan pernikahan dan cenderung ukuran kesuksesan hadirnya
anak berikutnya.
2. Dasar biologis.
Melahirkan anak adalah suatu proses biologis,
terlebih tugas melahirkan anak pertama merupakan suatu proses biologis dan
psikologis.
3. Dasar psikologis.
Secara psikologis, pria dan wanita memiliki
suatu tugas untuk menjadi ayah dan ibu. Tugas ini akan sulit bagi wanita yang
takut atau benci ide mengenai kehamilan, sebaliknya akan mudah bagi wanita
dengan sosok keibuan.
4. Dasar budaya.
Masalah kehamilan pertama merupakan masalah
yang muncul secara pandangan budaya bagi kelompok sosial ekonomi kelas menengah
dan kelas bawah dari suatu kelompok budaya tertentu.
5. Implikasi sosial dan pendidikan.
Keberhasilan pada aspek ini memerlukan jenis
pengetahuan tertentu bagi suami dan istri, sikap serta peran dan tanggung jawab
yang sepenuhnya dalam kehidupan berkeluarga serta memiliki keturunan.
d. Memelihara anak.
Hadirnya anak menjadikan tugas, peran dan
tanggung jawab yang lebih besar bagi pasangan suami istri karena mereka tidak
hanya memikirkan lagi kehidupan mereka sendiri, tetapi juga belajar memenuhi
kebutuhan anak sehingga anak mencapai perkembangan secara optimal.
e. Mengelola rumah tangga.
Kehidupan keluarga dibangun dengan kesiapan
keseluruhan baik fisik dan mental yang bergantung pada kesiapan dan
keberhasilan dalam mengelola rumah tangga sesuai peran, tugas dan tanggung
jawab masing-masing.
f. Mulai bekerja.
Dalam menghadapi tugas perkembangan ini, pria
dewasa awal sering menunda mencari calon pasangan hidup sebelum memperoleh
pekerjaan. Berbeda dengan wanita dewasa awal yang cenderung belum aktif
menghadapi tuntutan pekerjaan.
g. Bertanggung jawab sebagai warga negara.
Individu dewasa awal sebaiknya mulai
menunjukkan rasa tanggung jawab bagi kesejahteraan baik bagi keluarga,
tetangga, kelompok masyarakat, sebagai warga negara atau organisasi politik.
h. Menemukan kelompok sosial yang serasi.
Pernikahan menunjukkan tujuan dan langkah awal
menemukan kelompok sosial yang serasi. Bersama-sama sebagai pasangan mencari
teman baru, orang-orang seumur mereka dan dengan orang dimana mereka dapat
mengembangkan suatu kehidupan sosial jenis baru.
D. Periode Dewasa Awal Sebagai Masa Persiapan
Pernikahan
1. Konsep Dasar Pernikahan.
- Terdapat
beberapa definisi pernikahan yaitu :
- Pernikahan adalah suatu ikatan yang terjalin
diantara laki-laki dan perempuan yang telah memiliki komitmen untuk saling
menyayangi, mengasihi, dan melindungi berdasarkan syariat agama.
- Menurut Sigelman & Shaffer (1995 :
401), pernikahan adalah suatu transisi kehidupan yang mencakup pengambilan
peran baru (sebagai suami atau istri) dan menyesuaikan dengan kehidupan sebagai
pasangan.
- Menurut McGoldrick (1989), pernikahan
adalah adanya keterikatan yang sah antara dua jenis kelamin yang berbeda
sebagai pasangan baru (new couple), dan berasal dari keluarga serta
latar belakang kehidupan bahkan kebudayaan yang berbeda.
- Menurut Norman (1992), pernikahan
adalah ikatan terdekat yang terjadi pada dua orang yang disiapkan untuk
kebutuhan hidup bersama menuju cita-cita yang dapat tercapai, keharmonisan yang
dipertahankan, dan perintah Tuhan yang dijalankan.
- Berdasarkan beberapa definisi diatas,
disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan yang terjalin secara sah antara
laki-laki dan perempuan dalam menjalani peran hidup yang baru secara
bersama menuju harapan dan cita-cita sesuai dengan perintah dan ajaran
agama.
- Memahami dan menyikapi secara positif
makna dan hikmah pernikahan adalah bekal kesiapan diri untuk
menikah.dengan tujuan agar masing-masing pasangan dapat mengetahui,
memahami, serta menyikapi nilai-nilai pernikahan dalam membangun kehidupan
keluarga yang serasi dan sejahtera.
- Ciri-ciri usia dewasa awal yang memiliki
sikap positif terhadap pernikahan adalah :
1.
Mau mempelajari hal ihwal pernikahan.
2.
Meyakini pernikahan adalah jalan mensahkan
hubungan seks pria-wanita.
3.
Meyakini pernikahan merupakan ajaran agama yang
sakral (suci).
4.
Mau mempersiapkan diri menempuh jenjang
pernikahan.
2. Syarat Pernikahan.
- Individu harus memahami hikmah pernikahan
dan memiliki sikap positif terhadap pernikahan. Selain itu juga harus
memahami persyaratan yang diperlukan, yaitu :
1.
Kematangan fisik (wanita setelah usia 18-20 tahun dan pria usia
25 tahun).
2.
Kesiapan materi (suami wajib memberi nafkah kepada istri).
3.
Kematangan psikis (pengendalian diri, tidak mudah tersinggung,
tidak kekanak-kanakan, toleransi, hormat dan menghargai orang lain, memahami
karakteristik pribadi istri/suami).
4.
Kematangan moral-spiritual (memahami dan
terampil dalam masalah agama, melaksanakan ajaran agama, dapat mengajarkan
agama kepada anak).
- Menurut Papalia
& Olds, dalam buku Human Development (1995), bahwa
dari segi kesiapan fisik, usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah
19-25 tahun. Kesiapan usia sangat berpengaruh dalam memulai kehidupan
berkeluarga dan sebagai pengasuh anak pertama (the first time parenting).
3. Beberapa Kondisi yang Mempengaruhi
Kesulitan Penyesuaian Pernikahan.
a. Persiapan pernikahan yang terbatas. Ini
mengakibatkan terbatasnya persiapan pengetahuan, pemahaman, dan
ketrampilan-ketrampilan (komunikasi, berelasi, membesarkan anak, bergabung
dengan keluarga, mengelola keuangan) yang bermanfaat untuk kehidupan keluarga.
b. Perbedaan konsep tentang peran atau tugas dalam
pernikahan. Perbedaan konsep akan memicu konflik dalam pernikahan dan
cenderung terjadi pada pasangan yang berbeda agama, budaya, kelas sosial dan
pola asuh.
c. Cepat menikah. Pernikahan yang terlalu cepat misalnya ketika
pendidikan belum selesai atau ketika ekonomi belum independent akan
menghilangkan kesempatan memperoleh pengalaman yang bermanfaat bagi pernikahan,
bahkan akan memunculkan masalah (suka marah, cepat cemburu) yang menghalangi
penyesuaian pernikahan.
d. Memiliki konsep-konsep yang tidak realistik
tentang pernikahan. Orang dewasa yang menghabiskan hidupnya di
perguruan tinggi, tanpa upaya memperoleh pengetahuan, pemahaman dan pengalaman
tentang kehidupan berkeluarga cenderung memiliki konsep yang tidak realistik
tentang pernikahan dan akibatnya akan mempersulit dirinya dalam melakukan
penyesuaian dalam pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
e. Pernikahan campur. Pernikahan
lintas budaya dan lintas agama biasanya mengalami kesulitan dalam melakukan
penyesuaian dengan orang tua dan keluarga pasangan masing-masing.
f. Masa perkenalan yang singkat. Akibatnya
pasangan kurang cukup mengenal dan memahami pribadi masing-masing terutama
memahami hambatan-hambatan yang berpotensi menjadi menjadi masalah dalam relasi
mereka.
g. Konsep romantik tentang pernikahan. Banyak orang
dewasa masih memiliki konsep romantik seperti masa remaja yang sering tidak
realistik.
h. Tidak memiliki identitas. Jika seorang
pria merasa diperlakukan istri sebagaimana istri memperlakukan anggota keluarga
lain, teman dan rekan kerja, atau seorang istri merasa mendapat penghormatan
sebagai ibu sama dengan perhormatan yang diberikan suami kepada ibu keluarga
lain, maka mereka akan kehilangan identitas sebagai individu dan sulit
melakukan penyesuaian dalam pernikahan.
Hurlock (1980:292) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pasangan dalam melakukan penyesuaian dalam pernikahan sebagai
berikut :
- Konsep pasangan yang ideal. Seorang
pria atau wanita dalam memilih pasangan dibimbing oleh konsep pasangan
ideal dalam pikirannya.
- Pemenuhan kebutuhan.
Penyesuaian dalam pernikahan semakin mudah ketika kebutuhan masing-masing
suami-istri terpenuhi.
- Kesamaan latar belakang.
Suami-istri yang memiliki latar belakang yang sama terutama kesamaan pola
asuh dalam keluarga, budaya, dan agama akan memudahkan dalam melakukan
penyesuaian.
- Minat dan kepentingan bersama.
Keinginan dan harapan-harapan yang sama sebuah pasangan akan membawa
kearah penyesuaian yang lebih baik.
- Kesamaan nilai-nilai. Kesamaan
makna dan nilai-nilai yang dimiliki pasangan dapat memudahkan mereka dalam
melakukan penyesuaian.
- Konsep peran. Suami dan istri yang memiliki
konsep yang sama tentang peran, tugas, tanggung jawab, akan lebih mudah dalam
melakukan penyesuaian.
- Perubahan dalam pola hidup.
Penyesuaian memiliki makna perubahan terhadap pola hidup, mengubah
kebiasaan, mengubah hubungan, mengubah kegiatan. Perubahan pola hidup
selalu diikuti oleh ketegangan-ketegangan emosional yang dapat berkembang
menjadi suatu masalah yang mengganggu.